Apa itu wadiah dan ariyah, titipan dan pinjaman? Bagaimana aturan dalam transaksi ini ditinjau dari sisi fikih muamalat? Adakah masalah terkini yang terkait?
Pengertian Wadi’ah
Al-wadi’ah secara etimologi berarti sesuatu yang dititipkan. Secara terminologi, al-wadi’ah adalah harta yang dititipkan pada yang lain untuk dijaga. Ulama Hambali mengatakan, “Tanpa adanya imbalan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 43:5)
Pengertian ‘Ariyah
Al-i’aarah secara etimologi adalah meminjamkan dan nantinya akan dikembalikan.
‘Aariyah adalah kata bendanya, berarti peminjaman.
Secara terminologi, i’aarah didefinisikan oleh masing-masing madzhab.
Ulama Hanafiyyah mengatakan: I’aarah adalah memiliki kemanfaatan dari sesuatu secara majaanan (cuma-cuma, gratis).
Ulama Malikiyyah mengatakan: I’aarah adalah memiliki kemanfaatan pada rentang waktu tertentu tanpa ada imbalan.
Ulama Syafiiyah mengatakan: I’aarah adalah membolehkan memanfaatkan sesuatu dan bentuk benda yang dipinjam masih tetap ada.
Ulama Hambali mengatakan: I’aarah adalah membolehkan memanfaatkan sesuatu dengan ‘ain (barang tertentu) dari berbagai macam harta yang ada. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5:181)
Hubungan antara Wadiah dan ‘Ariyah
Hubungan antara wadi’ah dan i’aarah (‘ariyah) adalah keduanya sama-sama pemanfaatan barang dengan amanah, demikian menurut sebagian ulama.
Berkenaan dengan Wadi’ah
Pertama: Wadiah disyariatkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak.
Dalam ayat disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa’: 58)
Dalam hadits disebutkan,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624, hasan sahih).
Kedua: Hukum taklifi.
Ulama Syafiiyyah mengatakan, “Disunnahkan bagi yang mampu menjaga barang titipan dan menunaikan amanah, ia menerimanya, karena hal ini termasuk dalam bentuk ta’awun, saling tolong menolong dalam hal yang diperintahkan.”
Adapun jika ia tidak mampu menerimanya, haram baginya menerima karena hal ini akan menyebabkan kerusakan.
Ketiga: Jumhur ulama (Malikiyyah, Hambali, dan Syafii) menganggap bahwa akadnya adalah akad tawkil (mewakilkan).
Keempat: Kekhususan dalam akad wadi’ah: (1) akadnya jaiz dari kedua belah pihak, salah satu boleh menolak; (2) akadnya adalah akad amanah, di mana kalau barang tersebut rusak bukan karena kesengajaan orang yang dititip, tidak ada ganti rugi; (3) akadnya itu tabarru’at (berderma, membantu orang lain), dilakukan karena ingin berbuat baik, menolong, mengangkat kesulitan, dan menunaikan hajat.
Kelima: Rukun akad wadi’ah yaitu:
(1) ada shighah (ijab qabul);
(2) dua orang yang berakad yaitu al-mawdi’ dan al-mustawada’; di mana al mawdi’ (yang menitipkan) harus jaiz at-tashorruf yaitu berakal, baligh, rasyid (bisa memanfaatkan harta dengan baik); dan al-mustawda’ (yang dititipkan) harus jaiz at-tashorruf yaitu baligh, berakal, rasyid dan barang yang dititipkan itu tertentu;
(3) barang yang dititipkan (al-mawda’ah) harus harta baik aktiva tetap atau pun bergerak (menurut jumhur).
Berkenaan dengan I’aarah (‘Ariyah)
Pertama: Hukum I’aarah menurut jumhur ulama adalah mandub (dianjurkan).
Kedua: Rukun I’aarah adalah:
- Al-mu’iir (yang meminjamkan), punya kemampuan tasharruf.
- Al-musta’ir (yang meminta dipinjamkan), bisa lakukan tabarru’
- Al-musta’aar (barang yang dipinjamkan), kemanfaatannya mubah
- Shighah, ucapan yang menunjukkan peminjaman.
Ketiga: Boleh meminjamkan segala sesuatu yang mubah kemanfaatannya dan barang tersebut tetap ada. Berarti barang yang haram kemanfaatannya, haram dijadikan ‘ariyah.
Anjuran dalam ‘ariyah
Dalam surah Al-Maa’uun ayat ketujuh dicela orang yang enggan meminjamkan barang yang berguna.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun: 7)
Jika lihat dari terjemahan Al Qur’an, yamna’unal maa’uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan yamna’unal maa’uun. Sebagian berkata bahwa yamna’unal maa’uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud yamna’unal maa’uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu “يمنعون العارية”, mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk, atau kampaknya, ia enggan meminjamkannya.
Intinya, seluruh tafsiran di atas tepat. Semuanya kembali pada satu makna, yaitu yamna’unal maa’uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7:667).
Dalam sunan Abu Daud disebutkan riwayat dari ‘Abdullah, ia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الْمَاعُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَارِيَةَ الدَّلْوِ وَالْقِدْرِ.
“Kami menganggap al maa’uun di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang berkaitan dengan ‘aariyah (yaitu barang yang dipinjam) berupa timba atau periuk.” (HR. Abu Daud, no. 1657, hasan kata Syaikh Al-Albani).
Padahal memberikan pinjaman pada orang lain bisa jadi dengan harta, bisa jadi dengan memberikan kemanfaatan dan ini semua termasuk sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap kebaikan (perbuatan makruf) adalah sedekah.” (HR. Bukhari no. 6021).
Masalah: Tabungan di bank
Tabungan di bank tepatkah disebut wadiah (menitipkan) ataukah hakikatnya nasabah itu meminjamkan uang pada bank (qardh)?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, sebagian bank memberikan hadiah kepada nasabah yang cuma menyimpan uang saja tanpa ambil bunga, apakah hadiah tersebut boleh dimanfaatkan oleh nasabah?
Syaikh rahimahullah menjelaskan, “Engkau sudah tahu bahwa menyimpan beberapa dirham di bank itu bukan disebut wadi’ah (menitip), namun akad sejatinya adalah qardh (meminjamkan). Yang disebutkan oleh orang-orang bahwa akad tersebut adalah wadi’ah itu keliru. Jika engkau menyerahkan uang pada bank, apakah bank itu menjaga uang tadi sebagaimana adanya, sampai nanti diminta kembali juga bentuknya seperti itu ataukah bank menggunakan uang tadi terlebih dahulu? Tentu bank akan masukkan dalam tabungan dan akan menggunakannya. Kesaimpulannya, hakikat akadnya itu qardh (meminjamkan), bukan wadi’ah (menitipkan). Kalau transaksinya adalah meminjamkan, maka orang yang memberikan pinjaman (kreditor) tidak boleh mengambil keuntungan sama sekali dari transaksi tersebut, tidak boleh menerima hadiah dan lainnya. Hadiah barulah bisa dimanfaatkan setelah utang itu lunas (selama bukan syarat yang ditetapkan di awal, pen.).
Kalau bank memberikan hadiah yang sifatnya umum, yaitu bagi siapa saja seperti memberikan hadiah kalender, maka tidak mengapa diterima. Karena hadiah semacam ini biasa diberi pada nasabah atau yang bukan nasabah.” (Lihat Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, 9: 101-102, Liqa’ ke-196, pertanyaan no. 9)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang di dalamnya dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6:436)
Apa manfaatnya bahasan wadi’ah di sini?
Manfaatnya:
- Agar kita tahu bahwa menabung di bank bukan bentuk wadiah, namun meminjamkan uang pada bank.
- Kalau kita tahu meminjamkan uang pada bank, maka bunga bank tidak boleh kita manfaatkan.
- Bunga bank tidak boleh dimanfaatkan oleh nasabah. Bunga bank tidak disedekahkan atau tidak dikeluarkan zakat. Bunga bank itu dicuci, bisa disalurkan selain untuk kepentingan pribadi dan pembangunan masjid.
- Menabung di bank sekadar sarana dalam keadaan darurat.
- Pahami hakikat, jangan cepat dikelabui oleh istilah syar’i.
Masalah: Pinjam motor harus kembali full tank
Kita sudah pahami kaedah yang dipahami para ulama,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)
Kita perlu memahami suatu hukum bukan sekadar dari lafaz saja. Memahami suatu hukum dari hakikat sebenarnya.
Ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu Al-‘Aariyah dan Al-Qordh.
Contoh al-‘aariyah: Seseorang meminjamkan motor untuk dipakai satu hari, lalu besok motor itu dikembalikan lagi. Untuk al-‘aariyah, motor tidak berpindah kepemilikan.
Contoh al-qordh: pinjam satu juta rupiah, maka dikembalikan satu juta rupiah bukan dengan uang yang sama namun penggantinya. Alias, untuk al-qordh terjadi berpindah kepemilikan dan nantinya diganti.
Untuk al-‘aariyah berarti tidak berpindah kepemilikan. Untuk al-qordh berarti berpindah kepemilikan.
Tepatkah mengatakan meminjam motor teman disebut qordh sehingga berlaku hukum riba?
Ataukah seperti itu bukan qordh namun ‘aariyah?
Kalau ‘aariyah, maka sah-sah saja meminta diisikan bensin, sehingga akadnya berubah menjadi ijaaroh (sewa).
Baca Juga:
- Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi
- Tabungan Bank Termasuk Qardh (Meminjamkan), Bukan Wadiah (Menitipkan)
Referensi:
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
- Al-Mughni. Cetakan Tahun 1432 H. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Tahqiq: Abdullah bin ‘Abdul Muhsin At-Turki dan ‘Abdul Fattah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh. Cetakan Pertama, Tahun 1438 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyah.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Sabtu pada waktu Ashar, 9 Ramadhan 1441 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com